Muntah Di Dalam Masjid
Ruqyah masal di masjid sering dikecam banyak orang dikatakan najis karena muntahan dari para pesertanya ketika di ruqyah mereka berdalil sebagai berikut :
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻳﺎ ﻋﻤﺎﺭ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻐﺴﻞ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ : ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺎﺋﻂ , ﻭﺍﻟﺒﻮﻝ , ﻭﺍﻟﻘﻲﺀ , ﻭﺍﻟﺪﻡ , ﻭﺍﻟﻤﻨﻲ
“Wahai Ammar, pakaian harus dicuci jika terkena 5 hal: kotoran manusia, air kencing, muntah, darah, dan mani.”
Berdasarkan hadis ini, jumhur ulama: hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat bahwa muntah hukumnya najis. Sementara malikiyah berpendapat bahwa muntah dihukumi najis jika telah berubah, tidak lagi seperti makanan.
Akan tetapi yang benar, hadis di atas statusnya dhaif (lemah). Dinilai dhaif oleh beberapa ulama.
An-Nawawi mengatakan,
ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻤﺎﺭ ﻫﺬﺍ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ﺍﻟﻤﻮﺻﻠﻲ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪﻩ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ : ﻫﻮ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﺎﻃﻞ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﻗﻄﻨﻲ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
Hadis Ammar ini diriwayatkan Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi. Al-Baihaqi mengatakan, ‘Ini hadis bathil, la ashla lahu (tidak ada di kitab hadis).’ Kemudian Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi menjelaskan sisi lemahnya. (Al-Majmu’, 2/549).
Ibnu Hajar juga menilai lemah hadis ini dalam At-Talkhis Al-Habir (1/33).
Mengingat hadis ini statusnya lemah maka tidak bisa menjadi dalil. Dan kita memiliki acuan kaidah: segala sesuatu itu suci, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa itu najis.
Karena itulah, beberapa ulama hadis lebih menguatkan pendapat bahwa muntah tidak najis. Diantaranya: Ibn Hazm, As-Syaukani, dan Shidiq Hasan Khan. Al-Albani memberikan komentar untuk keterangan Sayid Sabiq yang mengatakan najisnya muntah.
ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻻ ﻗﻮﻟﻪ : [ ﺇﻧﻪ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻰ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ] ﻭﻫﺬﻩ ﺩﻋﻮﻯ ﻣﻨﻘﻮﺿﺔ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﻟﻒ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﺣﻴﺚ ﺻﺮﺡ ﺑﻄﻬﺎﺭﺓ ﻗﻲﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ، ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﻮﻛﺎﻧﻲ ﻓﻲ “ ﺍﻟﺪﺭﺭ ﺍﻟﺒﻬﻴﺔ ” ﻭﺻﺪﻳﻖ ﺧﺎﻥ ﻓﻲ ﺷﺮﺣﻬﺎ ، ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ﻗﻲﺀ ﺍﻵﺩﻣﻲ ﻣﻄﻠﻘﺎً ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺤﻖ ، ﺛﻢ ﺫﻛﺮﺍ ﺃﻥ ﻓﻲ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ﺧﻼﻓﺎً ﻭﺭﺟﺤﺎ ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ
Penulis (kitab Fiqh Sunah) tidak menyebutkan dalil untuk pendapatnya, kecuali pernyataan, ‘muntah itu disepakati najisnya’. Dan ini klaim yang tidak benar. Karena ada pendapat yang berbeda dari hal ini, yaitu pendapat Ibnu Hazm, dimana beliau menegaskan sucinya muntah seorang muslim. Dan ini pendapat imam As-Syaukani dalam Ad-Durar Al-Bahiyah, dan Shidiq Hasan Khan dalam syarahnya. Keduanya tidak menjelaskan sama sekali status najis muntah manusia. Itulah pendapat yang benar. kemduian As-Syaukani dan Shidiq Hasan Khan menyebutkan bahwa ada perselisihan tentang najisnya muntah. Kemudian mereka menguatkan bahwa muntah hukumnya suci.. (Tamam Al-Minnah, hlm. 53)
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan:
“Aku telah menyebutkan padamu di awal Kitab Thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang.
Bila kita dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya.
Kemudian kita katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan anggapannya ini berarti:
Allah I telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.
Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.
Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits ‘Ammar :
“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah, darah, dan mani.”
Maka kami jawab bahwa hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar z ini, sementara hadits tersebut tidak pantas untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah .
Kalau orang ini berkata lagi: “Terdapat hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu.”
Maka kami jawab: “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis?”
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa sebagian ahlul furu‘ (ahli fiqih) telah berkata bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab: apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang?
Kalau kamu katakan iya, berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin.
Kalau kamu katakan tidak, maka kami nyatakan: kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain?
Perlu di ketahui sebelum sesi Ruqyah di lakukan sudah di siapkan seperti plastik kresek serta tisu untuk berjaga jaga apabila terjadi muntah , sehingga apabila terjadi muntah lansung bisa di masukkan kresek tersebut.
Kedua sudah ada dari panitia untuk membersihkan sesuatu sampah dll dari sisa pelatihan ,bahkan tidak jarang mau di pakai sholat akan di pel / di bersihkan lantai nya ,jadi janganlah mengtakan sesuatu sebelum melihat sendiri di acara tersebut.
Wallahu a’lam.
Ruqyah masal di masjid sering dikecam banyak orang dikatakan najis karena muntahan dari para pesertanya ketika di ruqyah mereka berdalil sebagai berikut :
Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻳﺎ ﻋﻤﺎﺭ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻐﺴﻞ ﺍﻟﺜﻮﺏ ﻣﻦ ﺧﻤﺲ : ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺎﺋﻂ , ﻭﺍﻟﺒﻮﻝ , ﻭﺍﻟﻘﻲﺀ , ﻭﺍﻟﺪﻡ , ﻭﺍﻟﻤﻨﻲ
“Wahai Ammar, pakaian harus dicuci jika terkena 5 hal: kotoran manusia, air kencing, muntah, darah, dan mani.”
Berdasarkan hadis ini, jumhur ulama: hanafiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat bahwa muntah hukumnya najis. Sementara malikiyah berpendapat bahwa muntah dihukumi najis jika telah berubah, tidak lagi seperti makanan.
Akan tetapi yang benar, hadis di atas statusnya dhaif (lemah). Dinilai dhaif oleh beberapa ulama.
An-Nawawi mengatakan,
ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻤﺎﺭ ﻫﺬﺍ ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ﺍﻟﻤﻮﺻﻠﻲ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪﻩ ﻭﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﻨﻲ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ : ﻫﻮ ﺣﺪﻳﺚ ﺑﺎﻃﻞ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺿﻌﻔﻪ ﺍﻟﺪﺍﺭ ﻗﻄﻨﻲ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
Hadis Ammar ini diriwayatkan Abu Ya’la Al-Mushili dalam musnadnya, Ad-Daruquthni, dan Al-Baihaqi. Al-Baihaqi mengatakan, ‘Ini hadis bathil, la ashla lahu (tidak ada di kitab hadis).’ Kemudian Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi menjelaskan sisi lemahnya. (Al-Majmu’, 2/549).
Ibnu Hajar juga menilai lemah hadis ini dalam At-Talkhis Al-Habir (1/33).
Mengingat hadis ini statusnya lemah maka tidak bisa menjadi dalil. Dan kita memiliki acuan kaidah: segala sesuatu itu suci, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa itu najis.
Karena itulah, beberapa ulama hadis lebih menguatkan pendapat bahwa muntah tidak najis. Diantaranya: Ibn Hazm, As-Syaukani, dan Shidiq Hasan Khan. Al-Albani memberikan komentar untuk keterangan Sayid Sabiq yang mengatakan najisnya muntah.
ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮ ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻻ ﻗﻮﻟﻪ : [ ﺇﻧﻪ ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻰ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ] ﻭﻫﺬﻩ ﺩﻋﻮﻯ ﻣﻨﻘﻮﺿﺔ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﻟﻒ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺍﺑﻦ ﺣﺰﻡ ﺣﻴﺚ ﺻﺮﺡ ﺑﻄﻬﺎﺭﺓ ﻗﻲﺀ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ، ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺍﻟﺸﻮﻛﺎﻧﻲ ﻓﻲ “ ﺍﻟﺪﺭﺭ ﺍﻟﺒﻬﻴﺔ ” ﻭﺻﺪﻳﻖ ﺧﺎﻥ ﻓﻲ ﺷﺮﺣﻬﺎ ، ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﺬﻛﺮﺍ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺠﺎﺳﺎﺕ ﻗﻲﺀ ﺍﻵﺩﻣﻲ ﻣﻄﻠﻘﺎً ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺤﻖ ، ﺛﻢ ﺫﻛﺮﺍ ﺃﻥ ﻓﻲ ﻧﺠﺎﺳﺘﻪ ﺧﻼﻓﺎً ﻭﺭﺟﺤﺎ ﺍﻟﻄﻬﺎﺭﺓ
Penulis (kitab Fiqh Sunah) tidak menyebutkan dalil untuk pendapatnya, kecuali pernyataan, ‘muntah itu disepakati najisnya’. Dan ini klaim yang tidak benar. Karena ada pendapat yang berbeda dari hal ini, yaitu pendapat Ibnu Hazm, dimana beliau menegaskan sucinya muntah seorang muslim. Dan ini pendapat imam As-Syaukani dalam Ad-Durar Al-Bahiyah, dan Shidiq Hasan Khan dalam syarahnya. Keduanya tidak menjelaskan sama sekali status najis muntah manusia. Itulah pendapat yang benar. kemduian As-Syaukani dan Shidiq Hasan Khan menyebutkan bahwa ada perselisihan tentang najisnya muntah. Kemudian mereka menguatkan bahwa muntah hukumnya suci.. (Tamam Al-Minnah, hlm. 53)
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Al-Imam Asy-Syaukani t dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan:
“Aku telah menyebutkan padamu di awal Kitab Thaharah bahwa segala sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang.
Bila kita dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya.
Kemudian kita katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan anggapannya ini berarti:
Allah I telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.
Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.
Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits ‘Ammar :
“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah, darah, dan mani.”
Maka kami jawab bahwa hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar z ini, sementara hadits tersebut tidak pantas untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah .
Kalau orang ini berkata lagi: “Terdapat hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu.”
Maka kami jawab: “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis?”
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa sebagian ahlul furu‘ (ahli fiqih) telah berkata bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab: apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang?
Kalau kamu katakan iya, berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin.
Kalau kamu katakan tidak, maka kami nyatakan: kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain?
Perlu di ketahui sebelum sesi Ruqyah di lakukan sudah di siapkan seperti plastik kresek serta tisu untuk berjaga jaga apabila terjadi muntah , sehingga apabila terjadi muntah lansung bisa di masukkan kresek tersebut.
Kedua sudah ada dari panitia untuk membersihkan sesuatu sampah dll dari sisa pelatihan ,bahkan tidak jarang mau di pakai sholat akan di pel / di bersihkan lantai nya ,jadi janganlah mengtakan sesuatu sebelum melihat sendiri di acara tersebut.
Wallahu a’lam.
Tags
ARTIKEL RUQYAH