Orang Yang Tidak Mau Diruqyah
==========================
Suatu saat, ada salah seorang ibu-ibu menghubungi saya. Beliau menceritakan salah satu masalah yang terjadi dalam rumah tangga beliau. Yakni tentang sang suami.
Beliau melihat perilaku yang tidak wajar dalam diri sang suami, dari hal-hal kecil hingga hal penting dalam keluarga. Sang suami, sering mengigau, ketindihan saat tidur, dan berperiku aneh saat tidur, beliau pendiam, tidak banyak bicara, dan beberapa waktu terakhir lebih banyak sibuk dengan HP dan gadgetnya.
Beliau : “Apakah ini gangguan jin? “Apakah bisa diruqyah tanpa sepengetahuan beliau atau ruqyah jarak jauh, misalnya? Karena mungkin beliau tidak mau diruqyah, atau mungkin malah tersinggung jika diajak ruqyah”
Saya : “Ruqyah yang dicontohkan Nabi adalah dengan bertemu secara langsung Bu, oleh karena itu, cara yang paling mungkin dalam ruqyah jarak jauh adalah dengan mendengarkan bacaan peruqyah melalui telpon.”
Saya : “Jika kita posisikan ruqyah hanya sebagai proses doa, maka bisa saja doa dilakukan tanpa harus bertemu, tetapi cara ini adalah bentuk doa biasa bukan proses terapi ruqyah. Oleh karenanya, siapapun boleh mendoakan beliau, bahkan lebih baik orang tua beliau lah yang mendoakan. Atau beliau sendiri juga boleh untuk mendoakan sang suami.”
Saya : “Bu, jika kita menganggap bahwa persoalan ini murni masalah jin, tentu yang ada dalam pikiran kita adalah bagaimana cara mengusir jin itu, maka persoalan akan selesai. Tapi jika kita menganggap bahwa ini bukan semata-mata urusan jin maka memang bertemu secara langsung jauh lebih baik.”
Saya :“Yang perlu dicari dalam ruqyah adalah mengapa si jin ini bisa datang dan membuat ulah. Tidak mungkin jin datang tanpa sebab. Penyebab itu mungkin adalah masa lalu, sifat, dosa dan lain-lain. Jin mungkin bisa diusir, tetap jin itu akan datang kembali dengan mudah, in syaa Alloh, jika sumber penyebabnya tidak diselesakan.”
Oleh karenanya, ruqyah lebih baik tidak hanya digunakan untuk mengusir jin, tetapi ruqyah adalah proses dakwah dengan tujuan akhir perbaikan diri.
Beliau : “ tapi beliau tidak mau diruqyah Pak”
Saya : “ selama ini memang ruqyah diidentikkan dengan gangguan jin dan sihir. Dan orang beranggapan bahwa mereka yang terkena gangguan jin adalah orang yang buruk, lemah imannya, dan dianggap aib. Sehingga seolah-olah memalukan jika diruqyah.”
Saya : “Mungkin Ibu bisa pahamkan pada beliau bahwa ruqyah tidaklah sekedar urusan jin. Letakkan dulu kesimpulan bahwa jin adalah penyebab masalah yang terjadi.
Saya : “Jangan posisikan beliau sebagai pesakitan, objek utama dalam ruqyah, tapi Ajak beliau bicara tentang agama dalam keluarga, misalnya :
“keinginan merasakan kembali sholat dengan khusyu”
“keinginan untuk memperbaiki komunikasi”
“keinginan untuk menumbuhkan semangat ibadah dalam keluarga dan anak-anak"
“keinginan untuk membenah perilaku anak-anak”, dan lain-lain".
Kemudian tawarkan ta’lim bersama di rumah dengan mengundang peruqyah untuk memberikan ceramah.”
Saya : “ Tujuan awal yang ingin dicapai bukan lah kesembuhan atau menyingkirnya si jin tetapi menumbukan tradisi spiritual dalam keluarga, menjadikan Islam sebagai jalan pertama yang harus ditempuh saat ada masalah apapun. Demikianlah yang dicontohkan para sahabat dulu, sekecil apapun masalah yang mereka hadapi, mereka mencari jawabanya dari Nabi,
Dari utsman bin abu al ash, ia bercerita :
Aku pernah ditugaskan oleh Rasulullah, sedang aku adalah yang paling kecil usaianya diantara enam orang yang diutus kepada beliau dari Taqif, dimana aku telah hafal surah AL Baqoroh, maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Al Qur’an cepat hilang dariku.” Beliau pun meletakkan tangannya di atas dadaku dan berkata, Hai setan! Keluar dari dada Utsman!’, maka setelah itu aku tidak pernah lupa lagi apa yang ingin aku hafal’ (Zaad al Ma’ad,3/600).
Utsman bertanya tentang masalah hafalan, sering lupa dan Nabi mengaitkan masalah tersebut dengan syetan. Jika kita perhatikan hadits diatas, para sahabat biasa bertanya pada Nabi, dan kebiasaan seperti inilah yang perlu kita teladani. Bertanya pada orang yang dianggap mengerti Islam dengan lebih baik, dan mencari jawaban dengan sudut pandang Islam dalam segala hal. Nah poin inilah yang perlu dibicarakan terlebih dahulu, dengan suami.”
Semoga beliau bisa menerima dan bersedia diajak ruqyah bersama.
Sudut pandang seperti ini juga sangat dianjurkan dilakukan oleh peruqyah, Semoga proses ruqyah menjadi lebih lembut dan berkesan. aamiin.
Nadhif-RLC
==========================
Suatu saat, ada salah seorang ibu-ibu menghubungi saya. Beliau menceritakan salah satu masalah yang terjadi dalam rumah tangga beliau. Yakni tentang sang suami.
Beliau melihat perilaku yang tidak wajar dalam diri sang suami, dari hal-hal kecil hingga hal penting dalam keluarga. Sang suami, sering mengigau, ketindihan saat tidur, dan berperiku aneh saat tidur, beliau pendiam, tidak banyak bicara, dan beberapa waktu terakhir lebih banyak sibuk dengan HP dan gadgetnya.
Beliau : “Apakah ini gangguan jin? “Apakah bisa diruqyah tanpa sepengetahuan beliau atau ruqyah jarak jauh, misalnya? Karena mungkin beliau tidak mau diruqyah, atau mungkin malah tersinggung jika diajak ruqyah”
Saya : “Ruqyah yang dicontohkan Nabi adalah dengan bertemu secara langsung Bu, oleh karena itu, cara yang paling mungkin dalam ruqyah jarak jauh adalah dengan mendengarkan bacaan peruqyah melalui telpon.”
Saya : “Jika kita posisikan ruqyah hanya sebagai proses doa, maka bisa saja doa dilakukan tanpa harus bertemu, tetapi cara ini adalah bentuk doa biasa bukan proses terapi ruqyah. Oleh karenanya, siapapun boleh mendoakan beliau, bahkan lebih baik orang tua beliau lah yang mendoakan. Atau beliau sendiri juga boleh untuk mendoakan sang suami.”
Saya : “Bu, jika kita menganggap bahwa persoalan ini murni masalah jin, tentu yang ada dalam pikiran kita adalah bagaimana cara mengusir jin itu, maka persoalan akan selesai. Tapi jika kita menganggap bahwa ini bukan semata-mata urusan jin maka memang bertemu secara langsung jauh lebih baik.”
Saya :“Yang perlu dicari dalam ruqyah adalah mengapa si jin ini bisa datang dan membuat ulah. Tidak mungkin jin datang tanpa sebab. Penyebab itu mungkin adalah masa lalu, sifat, dosa dan lain-lain. Jin mungkin bisa diusir, tetap jin itu akan datang kembali dengan mudah, in syaa Alloh, jika sumber penyebabnya tidak diselesakan.”
Oleh karenanya, ruqyah lebih baik tidak hanya digunakan untuk mengusir jin, tetapi ruqyah adalah proses dakwah dengan tujuan akhir perbaikan diri.
Beliau : “ tapi beliau tidak mau diruqyah Pak”
Saya : “ selama ini memang ruqyah diidentikkan dengan gangguan jin dan sihir. Dan orang beranggapan bahwa mereka yang terkena gangguan jin adalah orang yang buruk, lemah imannya, dan dianggap aib. Sehingga seolah-olah memalukan jika diruqyah.”
Saya : “Mungkin Ibu bisa pahamkan pada beliau bahwa ruqyah tidaklah sekedar urusan jin. Letakkan dulu kesimpulan bahwa jin adalah penyebab masalah yang terjadi.
Saya : “Jangan posisikan beliau sebagai pesakitan, objek utama dalam ruqyah, tapi Ajak beliau bicara tentang agama dalam keluarga, misalnya :
“keinginan merasakan kembali sholat dengan khusyu”
“keinginan untuk memperbaiki komunikasi”
“keinginan untuk menumbuhkan semangat ibadah dalam keluarga dan anak-anak"
“keinginan untuk membenah perilaku anak-anak”, dan lain-lain".
Kemudian tawarkan ta’lim bersama di rumah dengan mengundang peruqyah untuk memberikan ceramah.”
Saya : “ Tujuan awal yang ingin dicapai bukan lah kesembuhan atau menyingkirnya si jin tetapi menumbukan tradisi spiritual dalam keluarga, menjadikan Islam sebagai jalan pertama yang harus ditempuh saat ada masalah apapun. Demikianlah yang dicontohkan para sahabat dulu, sekecil apapun masalah yang mereka hadapi, mereka mencari jawabanya dari Nabi,
Dari utsman bin abu al ash, ia bercerita :
Aku pernah ditugaskan oleh Rasulullah, sedang aku adalah yang paling kecil usaianya diantara enam orang yang diutus kepada beliau dari Taqif, dimana aku telah hafal surah AL Baqoroh, maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Al Qur’an cepat hilang dariku.” Beliau pun meletakkan tangannya di atas dadaku dan berkata, Hai setan! Keluar dari dada Utsman!’, maka setelah itu aku tidak pernah lupa lagi apa yang ingin aku hafal’ (Zaad al Ma’ad,3/600).
Utsman bertanya tentang masalah hafalan, sering lupa dan Nabi mengaitkan masalah tersebut dengan syetan. Jika kita perhatikan hadits diatas, para sahabat biasa bertanya pada Nabi, dan kebiasaan seperti inilah yang perlu kita teladani. Bertanya pada orang yang dianggap mengerti Islam dengan lebih baik, dan mencari jawaban dengan sudut pandang Islam dalam segala hal. Nah poin inilah yang perlu dibicarakan terlebih dahulu, dengan suami.”
Semoga beliau bisa menerima dan bersedia diajak ruqyah bersama.
Sudut pandang seperti ini juga sangat dianjurkan dilakukan oleh peruqyah, Semoga proses ruqyah menjadi lebih lembut dan berkesan. aamiin.
Nadhif-RLC
Tags
ARTIKEL RUQYAH