Indonesia Tanpa Perdukunan
=====================
Indonesia tanpa perdukunan, itu harapan dan sebuah kemestian…
Sulitnya menghapuskan perdukunan di Indonesia disebabkan oleh penyikapan terhadap budaya-budaya yg berlebihan sehingga hal-hal yg diyakini sebagian masyarakat sbg kepercayaan semua diakomodir sbg kebebasan berkeyakinan…
Nilai-nilai akidah hanya dibolehkan pada level pribadi (privat) dan tidak boleh didakwahkan kepada level umum (publik). Dianggap akan bersinggungan dengan keyakinan orang lain sbg adat atau budaya yg dipercayainya secara turun temurun.
Bahkan, didalam lingkungan masyarakat muslim sendiri terjadi perbedaan keyakinan. Ada yg meyakini tradisi sufi atau tarekat sehingga dapat melahirkan paham mistisme spt khawariq lil ‘adah (sesuatu yg terjadi diluar kebiasaan manusia umumnya) sehingga melahirkan keyakinan adanya ilmu hikmah, ilmu karomah, ilmu wali dan sebagainya.
=====================
Indonesia tanpa perdukunan, itu harapan dan sebuah kemestian…
Sulitnya menghapuskan perdukunan di Indonesia disebabkan oleh penyikapan terhadap budaya-budaya yg berlebihan sehingga hal-hal yg diyakini sebagian masyarakat sbg kepercayaan semua diakomodir sbg kebebasan berkeyakinan…
Nilai-nilai akidah hanya dibolehkan pada level pribadi (privat) dan tidak boleh didakwahkan kepada level umum (publik). Dianggap akan bersinggungan dengan keyakinan orang lain sbg adat atau budaya yg dipercayainya secara turun temurun.
Bahkan, didalam lingkungan masyarakat muslim sendiri terjadi perbedaan keyakinan. Ada yg meyakini tradisi sufi atau tarekat sehingga dapat melahirkan paham mistisme spt khawariq lil ‘adah (sesuatu yg terjadi diluar kebiasaan manusia umumnya) sehingga melahirkan keyakinan adanya ilmu hikmah, ilmu karomah, ilmu wali dan sebagainya.
Wali dan Karomah, tidak dipersoalkan, krn telah menjadi keyakinan yg disepakati oleh ulama berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Masalahnya adalah ketika ada klaim kewalian dan karomah dr pribadi atau kelompok tertentu kepada seseorang sehingga terjadi pengkultusan. Disinilah setan mempermainkan “talbis”-nya.
Jadi, perdukunan bisa lahir dari keyakinan terhadap Budaya dan Adat Istiadat.
Dan bisa juga lahir dari keyakinan terhadap tradisi beragama yg ekstrim tanpa didasari landasan yg kuat dr al-Qur’an dan as-Sunnah.
Misalnya, mendapatkan ilmu dari mimpi sehingga melahirkan kemampuan mengobati. Kebetulan yg datang dlm mimpi itu berpakian ulama dgn atribut kesholehan sesuai keyakinan orang yg bermimpi. Itu diyakini mimpi yg baik, padahal itu bisa saja “ilqa’ usy syayaathin” (bisikan setan).
Sering pula agama dan budaya dikawinkan utk melahirkan keyakinan mistisme. Tujuannya, satu sisi mengakomodir keyakinan terhadap agama tertentu (baca ; Islam) dan pada sisi lain utk mudah diterima suatu kelompok masyarakat tertentu (Suku atau ras). Tidak jarang kita lihat ada acara yg nuansanya Islam tapi rangkaian acaranya disusupi budaya atau adat tertentu dgn tujuan menjaga “keselamatan” atau “terhindar dr musibah”.
Pengentasan dunia perdukunan harus berawal dr pemimpin dan pejabat.
Yang terjadi justru pemimpinlah yg mendukung dan mengapresiasi keyakinan-keyakinan yg menjurus ke arah perdukunan itu, bahkan menjadi pelakunya.
Sudah santer diisukan (tapi bukan sekedar isu) bahwa presiden RI sejak Soekarno sampai SBY akrab dgn dunia mistis dan punya penasehat spritual yg mampu “membaca” dan “melihat” apa yg tdk dapat dilihat manusia pd umunya.
Pemimpin daerah dan wakil rakyat juga ada yg menjalankan tradisi dan keyakinan seperti itu.
Kalau ulama, ustadz atau kyai, bagaimana ?
Ini juga menjadi persoalan besar karena ada banyak tokoh agama yg punya keyakinan, amalan khusus dan sebagainya dgn istilah-istilah islami yg membuat masyarakat menganggapnya sbg kebenaran.
Tahun 2007/2008, saya mengundang KH. Gus Wahid ke Medan mengisi Seminar Nasional bersama Ust. Abu Deedat, Ust. Hasan Bisri dan Ust. Perdana Akhmad.
Gus Wahid adalah mantan kyai pemasang susuk dan jimat. Beliau bertobat dr kebiasaannya itu setelah berkenalan dgn Majalah Ghoib (mohon ustAris Fathoni meluruskan info ini jika salah).
Beliau ini kan kyai dan punya pondok pesantren tp kerjaannya melayani pemasangan susuk dan jimat. Bagaimana umat nggak rusak? Untung beliau bertobat dan meninggalkan kebiasaanya itu. Tapi tahukah kita kalau disana masih banyak kyai-kyai yg punya keyakinan spt itu dan masih eksis ?
Beliau bukan satu-satu kyai yg pernah menjalankan dunia perdukunan atas nama agama. Kalau pernah baca edisi khusus Majalah Ghoib “Dukun-Dukun Bertaubat”, anda akan tahu bahwa kyai/ust ada juga yg ikut meramaikan dan melestarikan dunia perdukunan.
Belum lagi dukun asli yg beratribut ustadz dan membawa simbol-simbol agama Islam, semakin membuat runyam persoalan.
Jangan harap Indonesia akan baik jika perdukunan masih bertahta diatas “kepala” bangsa ini !!!
Tags
ARTIKEL RUQYAH