Di antara nama-nama Allah adalah Asy Syaafii (الشَّافِي ). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan : “ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta perlindungan kepada Allah untuk anggota keluarganya. Beliau mengusap dengan tangan kanannya dan berdoa :
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ
أَذْهِبِ الْبَأْسَ وَاشْفِه وأَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَآءَ إِلاَّ
شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“ Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan berilah dia
kesembuhan, Engkau Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan
kecuali kesembuhan dari-Mu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit
lain” (HR Bukhari 535 dan Muslim 2191).
Dalam hadits yang lain dari Abdul Aziz bin Shahib, beliau mengatakan :
Aku dan Tsabit datang menemui Anas bin Malik , kemudian Tsabit berkata :
“ Wahai Abu Hamzah (kunyah dari Anas bin Malik), aku tersengat
binatang. Anas mengatakan : “ Maukah kamu saya bacakan ruqyah dengan
ruqyah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Tsabit berkata : “Tentu”. Kemudian Anas bin Malik membaca doa :
اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ, مذْهِبِ الْبَأْس, اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَآءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“ Ya Allah, Rabb manusia Yang Menghilangkan kesusahan, berilah
kesembuhan, Engkaulah Zat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada yang mampu
menyembuhkan kecuali Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit
lain” (HR Bukhari 541).
Makna Asy Syaafii
Makna dari Asy Syaafii adalah Zat yang mampu memberikan
kesembuhan, baik kesembuhan penyakit hati maupun penyakit jasmani.
Kesembuhan hati dari penyakit syubhat, keragu-raguan, hasad,
serta penyakit-penyakit hati lainnya, dan juga kesembuhan jasmani dari
penyakit-penyakit badan. Tidak ada yang mampu memberikan kesembuhan dari
penyaki-penyakit tersebut selain Allah Ta’ala. Tidak ada
kesembuhan kecuali kesembuhan yang berasal dari-Nya. Tidak ada yang
mampu menyembuhkan kecuali Dia. Hal ini seperti dikatakan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dalam Al Qur’an :
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku”
(As Syu’araa: 80). Maksudnya, Allah semata yang memberikan kesembuhan,
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam memberikan kesembuhan. Oleh karena itu
wajib bagi hamba memiliki keyakinan yang mantap bahwasanya tidak ada
yang mampu menyembuhkan kecuali Allah.
Dalam doa Nabi (اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ) terdapat tawasul kepada Allah dengan keumuman rububiyah
Allah terhadap seluruh manusia. Dengan penciptaan makhluk, pengaturan
segala urusan mereka, serta pergantian yang terjadi pada mereka. Di
tangan Allah Ta’ala kehidupan dan kematian, sehat dan sakit, kaya dan miskin, serta kuat dan lemah. Semuanya berada dalam pengaturan Allah Ta’ala dalam rububiyah-Nya.
Dalam doa Nabi (أَذْهِبِ الْبَأْسَ) maksudnya adalah hilangkanlah
penyakit dan kesusahan. Dalam lafadz yang lain dari sahabat Anas bin
Malik (اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ, مذْهِبِ الْبَأْس). Hal ini merupakan
tawasul kepada Allah Ta’ala bahwasanya hanya dialah yang
menghilangkan kesusahan. Kesusahan tidak akan hilang dari seorang hamba
kecuali dengan izin dan kehendak Allah Ta’ala.
Dalam doa Nabi (وَاشْفِه وأَنْتَ الشَّافِي) terdapat permohonan
kesembuhan kepada Allah, yaitu kesehatan dan keselamatan dari penyakit.
Bertawasul kepada Allah dengan nama Allah Asy Syaafii yang agung ini menunjukkan keesaan Allah dalam memberikan kesembuhan, dan bahwasanya kesembuhan berasal dari-Nya.
Dalam doa Nabi (لاَ شِفَآءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ) merupakan penegas untuk
keyakianan seorang hamba dan agar lebih mengokohkan iman, serta
pengulangan bahwasannya kesembuhan tidak dapat terjadi kecuali dari
Allah. Pengobatan yang dilakukan seorang hamba jika Allah tidak
mengizinkan untuk memberikan kesembuhan dan kesehatan tidak akan
memberikan manfaat sedkitpun.
Dalam doa Nabi (لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا) maksudnya tidak tersisa penyakit dan tidak meninggalkan cacat.
Berobat Ketika Sakit, Apakah Bertentangan dengan Tawakal?
Keimanan dan keyakinan bahwasannya yang mampu menyembuhkan hanyalah
Allah semata bukan berarti menjadi penghalang seorang hamba untuk
mengambil sebab kesembuhan dengan melakukan pengobatan. Terdapat banyak
hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah
untuk berobat dan penyebutan tentang obat-obat yang bermanfaat. Hal
tersebut tidaklah bertentangan dengan tawakal seseorang kepada Allah dan
keyakinan bahwasanya kesembuhan berasal dari Allah Ta’ala.
Dari sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ
“ Semua penyakit ada obatnya. Jika sesuai antara penyakit dan obatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah” (HR Muslim 2204)
Dalam hadits yang lain dari sahabat Abu Hurairah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَل لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurukan suatu penyakit, kecuali Allah juga menurunkan obatnya” HR Bukhari 5354).
Disebutkan pula dalam Musnad Imam Ahmad dan yang lainnya, dari Usamah bin Syariik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan : “Aku berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang seseorang dan berkata : “ Ya Rasulullah, apakah aku perlu berobat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdabda :
نَعَمْ يَا عِبَادَ اللَّهِ
تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً
غير داء واحد قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُوَ قَالَ الْهَرَمُ
“ Ya. Wahai hamba Allah, berobatlah ! Sesungguhnya Allah tidak
memberikan penyakit, kecuali Allah juga memberikan obatnya, kecuali
untuk satu penyakit. Orang tersebut bertanya : “Ya Rasulullah, penyakit
apa itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Penyakit
tua”
Dalam riwayat lain disebutkan :
إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ وَأَنْزَل لَهُشِفَاءً، عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ و جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“ Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit, kecuali Allah
juga menurunkan obatnya. Ada orang yang mengetahui ada pula yang tidak
mengetahuinya.” (HR Ahmad 4/278 dan yang lainnya, shahih)
Hadits-hadits di atas mengandung penetapan antara sebab dan pemberi
sebab, serta terdapat perintah untuk berobat, dan hal tersebut tidaklah
meniadakan tawakal seseorang kepada Allah. Hakekat tawakal kepada Allah
adalah bersandarnya hati kepada Allah dalam usaha mendapatkan mafaat dan
menghindar dari mudharat baik perkara dunia maupun akherat. Penyandaran
hati tersebut harus disertai juga dengan mengambil sebab. Seperti
halnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus dengan makan dan minum
tidak meniadakan iman dan tawakal, demikian pula menghilangkan sakit
dengan berobat juga tidak meniadakan tawakal seorang hamba. Bahkan
tidak sempurna hakekat tawakal seseorang sehingga dia mengambil sebab
yang diperbolehkan secara syar’i maupun kauni. Tidak mengambil sebab dalam bertawakal adalah cacat dan celaan terhadap tawakal itu sendiri.
Dalam sabda Nabi (لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ) merupakan penguat motivasi
bagi orang yang sakit maupun dokter atau orang yang memberikan
pengobatan, sekaligus dorongan untuk mencari pengobatan. Termasuk
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau
berobat untuk diri beliau sendiri, dan juga memerintahkan keluarga dan
sahabatnya untuk berobat ketika sakit. Silakan melihat petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih luas dalam pembahasan dalam pasal “ At Tibbun Nabawi” dalam kitab “Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khairil ‘Ibaad” karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullah.
Catatan Penting
Ada hal-hal yang wajib diperhatikan seorang hamba dalam mengambil sebab, yaitu :
- Sebab yang diambil adalah sebab yang sudah terbukti secara kauni dan atau syar’i. Maksudnya terbukti secara kauni adalah berdasarkan kebiasaan atau berdasarkan penelitian sebab tersebut dapat berpengaruh. Misalnya makan sebab bisa kenyang, minum sebab hilangnya dahaga, minum obat penurun panas dapat meredakan demam, dan sebagainya. Adapun maksud terbukti secara syar’i adalah sebab tersebut telah disebutkan dalalm Al Qur’an maupun hadits yang shahih. Misalnya, ruqyah dapat menyembuhkan penyakit, bekam bisa digunakan untuk pengobatan, dan lain-lain.
- Seseorang tidak bersandar kepada sebab yang dia ambil, akan tetapi harus bersandar kepada pemberi sebab, yaitu Allah Ta’ala.
- Seorang harus mengetahui dan meyakini, meskipun sebab yang telah diambil memiliki pengaruh yang kuat dan besar, namun semuanya terjadi hanya dengan izin Allah Ta’ala. Meskipun yang memeriksa dia adalah dokter yang paling ahli dan obat yang dia minum adalah obat yang paling manjur, semua itu tidak akan berpengaruh tanpa izin Allah Ta’ala.
Ketiga hal di atas berlaku dalam semua hal yang kita lakukan. Setiap
aktifitas kita tidak terlepas dari mengambil sebab, baik itu untuk
meraih manfaat yang kita inginkan atau menghindari mudharat seperti
ketika berobat agar sembuh dari penyakit, bekerja mencari rezeki, usaha
mendapatkan anak, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Pembahasan ini kami sarikan dari penjelasan tentang nama Allah Asy Syaafii yang terdapat dalam kitab Fiqhul Asmaail Husna karya Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdil Muhsin al Badr hafidzahumallah disertai beberapa tambahan keterangan. Ada beberapa faedah yang dapat kita simpulkan dari pembahasan di atas :
- Termasuk di antara nama-nama Allah adalah Asy Syaafii yang artinya Zat Yang Maha Menyembuhkan
- Allah Zat Yang Maha Menyembuhkan segala penyakit, baik penyakit hati maupun penyakit jasmani.
- Dianjurkan untuk mendoakan orang yang sakit sesuai dengan doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Diperbolehkan bertawasul dengan menyebut nama Allah Ta’ala, bahkan hal ini dianjurkan karena Nabi sering berdoa dengan menyebut nama-nama Allah.
- Seseorang diperbolehkan berobat tatakala sedang sakit, dan hal ini tidaklah meniadakan tawakal seorang hamba. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang sakit untuk berobat.
- Seseorang yang berobat atau periksa ke dokter hendaknya hatinya tetap bersandar kepada Allah dalam mengharapkan kesembuhan dan tidak bersandar kepada obat yang dia minum atau dokter yang memeriksanya.
- Seorang dokter atau praktisi pengobatan adalah hanya sebagai sebab, sedangkan yang mampu menyembuhkan hanyalah Allah Ta’ala. Tidak sepantasnya dia sombong tatkala berhasil menyembuhkan pasiennya.
Demikian pembahasan yang ringkas ini, semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
—
Penulis : dr. Adika Mianoki
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id
Tags
ARTIKEL RUQYAH
Artikel yg sangat bermanfaat,,!
BalasHapusjazakollahu khoir...
sy setuju bahwa penyakit medis jika kombinasi obatnya tepat maka dgn izin Allah akan sembuh,,,tp jika kasus sihir, santet, jin dan gangguan yg sejenis lebih tepatnya diruqyah karena hal tsb masalah gaib.